Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra
Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
edisi V/1, Mei 2012
Sekilas Info
Mata kuliah ini diampu oleh Dr. Nurhadi, M.Hum, dosen
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini menyelesaikan
kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat
karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________
Penulisan esai tentang Sejarah Sastra Indonesia ini
diikuti oleh para mahasiswa PBSI kelas
K, L, M dan N tahun ajaran 2010/2011 semester genap. Tulisan-tulisan ini
sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________
Tulisan ini
merupakan karya sendiri, bukan jiplakan atau karya orang lain
Renny Intan
Kartika
Nim:
11201244038
Kelas N
PBSI 2011
Buletin Rahsas terbit
setiap minggu
pada hari Sabtu, mengangkat
tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi edisi kali ini: Renny Intan K, NIM 11201244038; HP: 085743051595 rennyintankartika@yahoo.com
Novel
Jalan Menikung ini erat kaitannya
dengan novel Para Priyayi karena Jalan Menikung ini merupakan
kelanjutan dari novel Para Priyayi.
“Jadilah orang yang bersikap Prasodjo,
begitu pesan yang selalu diulang-ulanginya kepada saya”
Wulan Anggraini (putri bungsu umar kayam)
![]()
Umar Kayam telah
menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang realis dengan kemampuan
mengolah data-data kultural dan etnis secara kreatif.
|
JALAN MENIKUNG :
Para Priyayi 2
Umar Kayam
Oleh Renny Intan K
A. Pendahuluan
Umar Kayam, ia
adalah seorang sastrawan besar yang sangat terkenal dengan dedikasinya di berbagai
bidang. Ia lahir di Ngawi, 30 April 1932. Ia memperoleh gelar MA dari
University of New York dan gelar Ph.D dari Cornell University, Ithaca,
Amerika. Umar Kayam termasuk tokoh yang banyak meakukan terobosan dalam
banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya.
Karya-karya Umar
Kayam adalah berupa fiksi dan non fiksi. Dalam karya fiksinya, ia menulis
cerpen, novelet, dan Novel. Cerpennnya yang paling terkenal adalah Seribu Kunang-kunang di Manhattan yang
berlatarkan Amerika. Beberapa
cerpennya yang lain juga berlatarkan Amerika.
Untuk novelnya
sendiri bercerita tentang kehidupan para priyayi. Novel pertamanya terbit
pada tahun 1992. Novel berjudul Para
Priyayi ini berkisah tentang kehidupan para priyayi, novel ini merupakan
cerita balik tentang kehidupan Umar Kayam pada masa lalu. Sedangkan novel
kedua merupakan kelanjutan dari novel pertama yang berjudul Jalan Menikung : Para Priyayi 2. Di
novel keduannya ini menceritakan tentang generasi selanjutnya dari kehidupan
para priyayi, dimana kehdupan mereka sudah mulai mendunia. Menggambarkan
realita kehidupan sekarang dimana terjadi percampuran kebudayaan di dalamnya.
Novel keduanya ini
di tulis pada saat ia berada di Kyoto selama 6 bulan. Novel ini diterbitkan
pada tahun 1999 dan merupakan novel terakhir dari Umar Kayam. Umar Kayam
menutup usai pada tanggal 16 Maret 2002, ia meninggalkan seorang istri yaitu
Roslina Hanoum dan dua orang anak, Sita Aripurnami dan Wulan Angraeni.
Walupun ia sudah tiada lagi, namun karya-karyanya akan selalu di kenang
B.
Jalinan Cerita
Harimurti, anak
tunggal dari pasangan Hardojo dan Sumarti pada sat iu sudah lama bekerja di
Penerbitan Mulia Mutu sebagai anggota. Pada suatu hari ia di ajak keluar oleh
atasannya untuk makan siang di lestoran Cina oleh pimpinan redaksinya. Dalam
makan siang tersebut, terjadi perbincangan yang cukup serius. Pemimpin
redaksinya meminta agar Harimurti mengundurkan diri dari pekerjaannya karena
dianggap termasuk dalam kategori “tidak bersih diri”. Harimurti kemudian
dengan rela mengundurkan diri.
Yang menambahkannya
menjadi sedih lagi adalah anak semata wayangnya yang sudah menyelesaikan
pendidikan di Sunnybrook College berjanji akan segera pulang. Eko adalah anak
semata wayang Harimurti-Suli, ia adalah anak yang pandai sehingga mendapat
beasiswa bersekolah di Amerika. Ia tinggal bersama keluarga yahudi Prof.
Samuel D Levin. Kepulangan Eko mencemaskan Harimurti karena ia mencemaskan
jika Eko juga dikenai predikat “tidak bersih lingkungan”. Keluarga Lantip
yang merasa ikut bertanggung jawab atas Eko ikut memikirkan hal ini, mereka
berharap agar Harimurti bisa menerima keadaan. Harimurti pun mengirimkan
surat kepada Eko agar tidak pulang dahulu terkait dengan masalah ini.
Berkat rekomendasi
dari Prof. Levin dan ijasahnya, ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai editor
pada penerbitan Asia Books. Karena pekerjaannya yang bagus ia dianggkat
menjadi asisten Alan Bernstein. Eko yang mulanya hanya menganggap Claire anak
gadis Prof. Levin sebagai adiknya,
tetapi lama-kelamaan mereka berdua saling jatuh cinta. Hingga pada suatu hari
Claire memberitahukan bahwa ia hamil, Eko segera memberitahukan kabar ini
kepada orang tua mereka.
Disisi lain
keluarga Tommi, anak bungsu dari Noegroho berniat untuk memugar makam eyang
leluhur mereka sesuai dengan kehendak Tommi yaitu megah. Tommi juga telah
memindahkan makan yang berada disekitar eyang leluhur mereka. Harimurti dan
Lantip sebenarnya kurang setuju dengan hal tersebut.
Eko akhirnya akan
menikahi Claire. Ia meminta restu kepada orang tuanya agar pernikahannya
berjalan lancar dan berjanji pada saat menandatangani akte pernikahan di kota
madya nanti, ia akan mengucapkan dalam hati surat Al-Fatihah dan surat
Ar-Rumm. Eko dan keluarga Levin bersepakat untuk tidak menyelenggarakan
upacara pernikahan agama demi menghindari persengketaan. Sementara itu anak
bungsu keluarga Tommi justru mengaku telah hamil dari hubungannnya dengan Boy
Saputro. Tommi tidak menyetujui pernikahan anaknya itu karena ia tidak mau
darah keturunan Sastrodarsono dicampuri oleh darah Cina. Sampai pada hari pernikahan
anaknya pun, Tommi tidak mau hadir. Hanya Jeannett istrinya, di temani
keluarga Harimurti, Lantip dan Marie. Perkawinan di langsungkan di Semarang
secara meriah dan besar-besaran, tanpa kehadiran Tommi.
Eko mendapat hadiah
bulan madu dari tempatnya bekerja ia di tugaskan untuk ke beberapa negara,
yang salah satunya adalah di Indonesia. Eko dan Claire mendapat waktu selama
tiga bulan. Sesampainya di Jakarta ia disambut oleh Harimurti-Suli dan
Lantip-Halimah. Betapa senangnya Suli bertemu dengan anaknya tersebut.
Beberapa hari di Jakarta, Eko mengajak Claire untuk berjalan-jalan
melihat-lihat keadaan kota Jakarta. Selain itu eko juga mengajak Claire untuk
sowan ke rumah Tommi. Eko dan Claire di sambut hangat oleh keluarga Tommi,
bahkan Jeanett memberikan hadiah perhiasan mahal kepada Claire. Mereka di
jamu habis-habisan dengan makanan dan minuman yang di pesan dari hotel
terkenal yang ada di Jakarta. Tommi juga memasukkan amplop tebal ke saku Eko,
setelah dibuka di mobil ternyata berisi uang sebanyak sepuluh ribu US dolar.
Selain kerumah Tommi, Eko dan Claire juga sowan kerumah Marie. Dan terakhir
mereka sowan kerumah Lantip dan Halimah
Hari peresmian
pemugaran makam pun tiba. Jatuh pada hari Sabtu wage, hari lahir, weton Pak
Sastrodarsono. Beberapa hari sebelumnya, anggota keluarga besar Sastrodarsono
sudah berkumpul di hotel paling besar di Madiun. Menurut Tommi, makna
pemugaran ini adalah klimaks dari usaha anak cucu, buyut, semua trah
Sastrodarsono untuk menerjemahkan pepatah mikul
dhuwur mendhem jero sebagai memikul tinggi-tinggi dan menanam dalam-dalam
keharuman nama keluarga Sastrodarsono.
Kontras dengan
keadaan Sastrodarsono, makam orang tua Halimah tidak mewah seperti itu.
Kompleks makamnya tampak seperti lapangan rumput alang-alangyang liar tak
terpelihara. Di akhir cerita, Eko dan Claire kembali ke Sunnybrook. Beberapa
bulan kemudian Claire melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Yahudi
Solomon. Dalam pekerjaannya, terjadi perombakan besar-besaran terhadap
perusahaan tempat Eko bekerja. Ia pun memilih untuk mengundurkan diri dan
bersama Alan Bernstein mendirikan penerbitan baru yang masih mau melihat
keindahan sastra, filsafat dan sejarah.
C.
Sejarah Penulisannya
Jalan Menikung: Para Priyayi 2 ini
merupakan novel kedua dan novel terakhir dari Umar Kayam. Novel ini merupakan
kelanjutan dari novel sebelumnya yaitu Para
Priyayi. Novel ini ditulis pada saat ia berada di Kyoto.
Pada tahun 1998,
Umar Kayam kembali mendapat kesempatan pergi ke luar negeri atas undangan
Kyoto University, Jepang selama 6 bulan. Selama 6 bulan di Kyoto ia di temani
oleh istrinya Roslina Hanoum untuk tiga bulan pertama, sedangkan untuk tiga
bulan selanjutnya ia di temani oleh anak bungsunya Wulan Anggraeni. Selama di
Kyoto ini kondisi kesehatannya lebih menurun, sehingga untuk pergi kemana pun
beliau harus dengan pengawalan ketat dari anak ataupun istrinya. Bahkan untuk
memasukkan anak kunci ke lubang pintu pun ia tidak sanggup. Namun dalam kondisi
yang seperti itu pun ia masih berkarya, yaitu dengan menulis novel keduanya
ini Jalan Menikung : Para Priyayi 2.
Novel Jalan Menikung ini erat kaitannya
dengan novel Para Priyayi karena Jalan Menikung ini merupakan
kelanjutan dari novel Para Priyayi.
Umar Kayam tergerak untuk menulis novel Para Priyayi ini karena merasa dikecewakan
oleh rang-orang bukan Jawa, terutama para pakar Barat yang menganggap bahwa
seakan-akan priyayi ini merupakan dunia yang jelas sekali. Orang Barat
dinilai tidak mengerti nuansa simbol, harapan-harapan dan kekecewaan golongan
priyayi ini dalam mengejar kamulyan
(kemuliaan), Kamukten
(kesejahteraan) dan bagaimana dulu kesedhan orang tua saat menyaksikan
kegagalan anaknya untuk menjadi priyayi.
Umar Kayam terkenal
dengan teorinya mengenai manusia Indonesia sebagai “pejalan budaya” ( cultural commuter ), yaitu sebagai
orang-orang yang bergerak secara bolak-balik dari budaya tradisional ke
budaya modern. Hampir semua karya Umar Kayam berbicara tentang persetubuhan
antara kedua dunia tersebut. Sampai pada akhir hayatnya, Umar kayam tetap
bertahan pada dunia tersebut. Dalam novel Jalan
Menikung, ada kecenderungan yang samar-samar padanya untuk berbicara
sebuah dunia ang lain, yang leas dari dikotomi dunia tradisonaldan modern
tersebut. Ia sudah mulai berbicara dunia yang lain, yaitu dunia global. Namun
perspektif yang digunakan untuk memahami dunia di atas masih sama yaitu dunia
modern ang sepi dalam kesendirian dan dunia tradisonal yang ramai, komunal.
D. Jalan
Menikung Diantara Karya-KarYA Umar Kayam yang Lain.
Jalan
Menikung,
Novel kedua dari Umar Kayam ini merupakan kelanjutan dari novel sebelum yaitu
Para Priyayi. Novel ini di terbitkan pada tahun 1999, novel kedua sekaligus
terakhir dari Umar Kayam.
Sebelum menulis
novel, karya pertama Umar Kayam adalah cerpen yang berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”,
cerpen ini muncul di majalah Horison, No. 4 Tahun I, 1966. Yang kemudian di
terbitkan menjadi satu kumpulan cerpen. Ia juga menulis novelette berjudul Sri Sumarah dan Bawok pada tahun 1975. Ia juga menulis cerita anak-anak yang
berjudul Totok dan Toni yang terbit
pada tahun yang sama. Novel Para Priyayi sendiri terbit pada tahun 1992.
Adapula cerpen yang dipublikasikan oleh Yayasan Untuk Indonesia dengan judul Parta Krama (1997) dan Lebaran di Karet,di Karet… yang di
terbitkan setelah Umar Kayam meninggal (2002). Selain fiksi, ia juga membuat
beberapa karya non fiksi.
Berbeda dengan
cerpennya Seribu Kunang-knang di
Manhattan yang membahas tentang kehidupan Barat, novel Jalan menikung lebih menekankan pada
kehidupan Priyayi yang mulai mendunia atau mengglobal, mulai terjadinya
pergeseran-pergeseran nilai sosial di dalamnya.
E. Peran
Umar Kayam dalam Sejarah Satra Indonesia atau pun pada Umumnya
Perananan Umar
Kayam dalam sejarah Indonesia ini sangatlah banyak. Ia bukan saja berperan
sebagai penulis, namun juga berperan dalam perfilman Indonesia. Ia juga
merupakan guru besar Fakultas Sastra di Universitas Gadjah Mada
Rachmat Djoko
Pradopo memasukan Umar Kayam sebagai sastrawan angkatan ’50 (1950-1970).
Periode angkatan ’50 ini memiliki gaya bercerita murni. Gaya bercerita murni
menyebabkan alur cerita menjadi padat tanpa digresi. Karena hanya menyajikan
cerita, maka pembaca memiliki kebebasan untuk menafsir.
Dalam sejarah
kesusastraan Indonesia, Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme
kultural. Seorang realis dengan kemampuan mengolah data-data kultural dan
etnis secara kreatif. Realisme Umar Kayam hadir melalui pendekatan
antropologis. Baik dari segi cara pengungkapan maupun pendekatan terhadap
kehidupan. Realisme kultural itu menjadi suatu kecenderungan yang banyak
ditiru oleh generasi selanjutnya. Demikian pula ketika Umar Kayam dinilai
orang telah mengubah mandulnya ilmu-ilmu sosial.
Dalam
dunia perfilman Indonesia, beberapa kebijakan yang dinilai sangat berperan
dalam perjalanan sejarah perfilman Indonesia adalah mengenai import film.
Ketika terpilih menjadi Dirjen RTF, Umar Kayam mengeluarkan kebijakan yang
disahkan oleh Menteri Penerangan B.M Diah melalui SK.No 71/SK/M/1967.
Kebjakan yang sering dikenal dengan SK 71 itu bermaksud menstimulasi importir
( baik importir film maupun importir barang dagang lainnya semisal tekstil
dan mesin) untuk mendatangkan film luar negeri sebanyak-banyaknya, disertai
dengan kewajiban membeli saham yang akan digunakan untuk mendanai produksi
film dalam negeri. Selama menjabat Dirjen RTF kebijakan yang terkenal adalah
menegenai perfilman. Namun ia diberhentikan karena persoalan televisi dan
radio. Orde Baru menginginkan orang-orang ketaatan total dalam pengabdian
sepenuhnya terhadap penguasa.
Dalam seni peran, Umar Kayam pernah menjadi aktor dalam
film “Karmila”, “Kugapai Cintamu”, “Pengkhianatan G
30S/PKI”, “Jakarta 66”. Juga penulis skenario untuk film “YangMuda Yang Bercinta”, “Jago”, dan “Frustasi Puncak Gunung”. Pernah juga
menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia.
F. Pengaruh Novel
Jalan Menikung dalam sejarah Persepsinya.
Novel Jalan Menikung ini yang merupakan
lanjutan dari novel Para Priyayi masih meneruskan tentang cerita generasi
priyayi. Namun dalam novel ini mulai terjadi beberapa pergeseran sosial
dimana kehidupan generasi selanjutnya yang sudah mulai mendunia. Novel ini
mengajak kita untuk membuka mata dengan keadaan yang sekarang ini. Kehidupan
yang mulai mendunia. Terjadinya percampuran kebudayaan antara Jawa, Amerika
dan Yahudi
Menurut Sutrisno
dalam tulisannya di majalah tempo (2000), menuturkan bahwa lewat Jalan
Menikung, Umar Kayam mencoba memberikan gambaran yang baru tentang generasi
baru priyayi. Umar Kayam berusaha menggeluti konflik nilai, dan benturan
pendapat umum secara sehat. Selain itu, melalui sindiran dan jawaban yang
sinis tentang fakta yang sebenarnya dalam menghayati kearifan priyayi Jawa,
Umar Kayam lewat Jalan Menikung mampu menarik perhatian pembacanya.
Sementara itu,
menutut Chusnanto dalam tulisannya di majalah Tempo (2000) mencermati bahwa
dalam Jalan Menikung Umar Kayam
memberikan gambaran tentang kehidupan priyayi Jawa modern yang masih
menunjukkan filsafat Jawa yang tetap dianut dan dipertahankan hingga saat ini.
Lewat Jalan Menikung, Umar Kayam
menyajikan olahan fiksi novel ini dengan gaya tersendiri : penuh humor,
sindiran, dan lebih menarik dari novel sebelumnya.
Daftar
Pustaka
B. Rahmanto. 2004. Umar Kayam: Karya dan Dunianya.
Jakarta: Grasindo.
Siregar, Ashadi., dan Faruk HT. 2005. Umar Kayam: Luar
Dalam. Yogyakarta: PINUS.
Luthfi, Ahmad Nashih. 2007. Manusia Ulang Alik:
Biografi Umar Kayam. Yogyakarta: Sains dan Eja Publisher.
Nurhadi. 2010. Armada Kapal Sastra Indonesia, Periode
Pembangunan (1965-1985) : Rangkaian Komentar-Ulasan. Yogyakarta: Tahomata
Press.
Raharja, Sulastama. 2011. Jalan Menikung dalam http://rakbukuonline.wordpress.com/2011/01/20/para-priyayi-2-jalan-menikung/.
Diungguh 15 Juni 2012.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/02/21/BK/mbm.20000221.BK111757.id.html
|
||||
|
|
||||
Karya- Karya Umar Kayam
Umar Kayam
pernah menulis buku kanak-kanak Totok dan Toni (1975).Dua Noveletnya yang
berjudul ”Sri Sumarah” dan ”Bawuk” pernah diterbitkan menjadi satu buku dengan
judul Sri Sumarah dan Bawuk (1975) . akan tetapi akhirnya disatukan
dengan kumpulan cerpennya Seribu
Kunang-kunang di Manhattan (1972) kedalam judul Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya (1986). Tiga cerpennya, yaitu
”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, ”Bawuk ” dan ” Musim Gugur Kembali d
Connecticut”, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam
antologi Harry Aveling (ed.) From
Surabaya to Armageddon (1976). Cerpen-cerpennya yang lain juga sudah
diterjemahkan ke dalambahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan di
Singapura dengan judul Sri Sumarah and other stories (1976). Kumpulan cerpen
lainnya adalah Parta Krama (1977) yang diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya
yang ke-65 dan Lebaran di Karet, di Karet...
(2002) yang diterbitkan setelah Umar Kayam meningggal. Ia juga menulis dua buah
novel berjudul Para Priyayi (1992),
dan Jalan Menikung Para Priyayi 2
(1999). Para Priyayi sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Sebagai sastrawan, tahun 1997 ia memperoleh
Hadiah Sstra ASEAN.
Karya Umar Kayam yang berbentuk buku
nonfiksi, antara lain Seni, Tradisi,
Masyarakat (1981) dan The Soul of
Indonesian, A Culture Journey yang diteritkan oleh Louisiana University
Press yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya(1985).
Selain menjadu kolumnis di beberapa surat kabar dan majalah, kolom-kolomnya
sangat digemari pembaca di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kolom-kolomnya
yang secara rutin hadir setiap hari Selasa, akhirnya diterbitkan secara berseri dengan judul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda ( 1994), Mandhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih
(1998), dan Satrio Piningit ing Kampung
Pingit (2000).
Sebelum
wafatnya, Umar Kayam masih sempat menerbitkan hail penelitiannya pada tahun
1993-1995 tentang wayang klit dan dibukukan dengan judul Kelir Tanpa Batas (2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar