ANALISIS
PUISI KARYA TAUFIK ISMAIL
BERDASARKAN
PENDEKATAN STRUKTURAL
OLEH
: RENNY INTAN K
A.
Puisi
I
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“ Duli Tuanku “ ?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa.
Tidak ada lagi pilihan lai. Kita harus
Berjalan terus.
Taufik Ismail, Tirani, 1966
1.
Analisis
Struktur Fisik Puisi:
a.
Diksi
Puisi bertemakan
perjuangan ini banyak menggunakan kata-kata yang menggambarkan keadaan bangsa
Indonesia. Keadaan bangsa yang dinilai masih membutuhkan perjuangan, dimana
pederitaan masih terjadi walaupun bangsa Indonesia sudah diakui kemerdekaannya.
/Dipukul
banjir, gunung api, kutuk dan hama/ kata-kata tersebut menggambarkan kesusahan
yang masih dialami oleh bangsa.
Dalam puisi Taufik
Ismail yang berjudul Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini dijumpai kata-kata
dalam bahasa Sumatra /Duli tuanku/ yang
dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai baik tuan, atau siap bos. Munculnya bahasa
yang biasa digunakan di daerah Sumatra ini karena Taufik Ismail sendiri yang
lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat.
b.
Citraan
Citraan yang terdapat
dalam puisi ini yang pertama adalah citraan penglihatan, seperti yang ada pada
kalimat /Kita adalah
manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan/ kata bermata kuyu merupakan kata yang
menjelaskan pencitraan peglihatan. Kalimat diatas menunjukkan bahwa pencitraan
mereka yang telah tidak bersih lagi karena setiap hari bergantung harap.
Kalimat kedua /Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ menggambarkan
bahwa setiaphari mereka berharap agar ada oplet ataupun bus yang mau berhenti
untuk mereka namun yang mereka lihat hanyalah let dan bus yang selalu penuh.
Hal ini menggambarkan keadaan bangsa kita, yang tidak memberikan kesempatan
yang cukup untuk orang-orang kecil.
Selain
citraan penglihatan, citraan pendengaran juga tampak dalam puisi ini. Seperti
yang terlihat dalam kalimat /Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya
merdeka/ dan kalimat /Dan seribu pengeras suara yang hampa suara/.
Dalam kedua kalimat tersebut ada kata diam dan pengeras suara
yang mewakili pencitraan pendengaran.
Pencitraan gerak juga
terdapat dalam puisi karya Taufik Ismail ini. Pencitraan ini terlihat dalam
kalimat /Berjalan terus/ dan kalimat / Karena berhenti atau mundur/. Kata berjalan , berhenti, dan mundur
membuat sesuatu yang ditampilkan tampak bergerak.
c. Bahasa kias
Bahasa kias juga menghiasi puisi
karya Taufik Ismail ini. Personifikasi dapat kita lihat pada kalimat /Dipukul
banjir, gunung api, kutuk dan hama/. Banjir, gunung api, kutuk dan hama digambarkan dapat memukul seperti
manusia. Ini merupakan perumpamaan dari cobaan yang datang bertubi-tubi dan
menyengsarakan.
Kalimat /Dan
seribu pengeras suara yang hampa./
ini menunjukkan bahasa kias hiperbola yang melebih-lebihkan. Seperti hal yang
tidak mungkin ada seribu pengeras suara namun hampa suara.
d. Wujud Visual
Corak umum puisi ini termasuk kedalam puisi yang
panjang. Dan tidak terikat pembaitian ataupun persajakan. Enjambemen atau
loncatan kesatuan sintaksis yang terdapat pada baris tertentu ke dalam baris
berikutnya juga dapat terlihat disini. Yaitu pada kalimat /Tidak ada lagi
pilihan lain. Kita harus/ /Berjalan terus/. Kata berjalan terus menerangkan kalimat diatasnya atau kalimat
sebelumnya.
e. Bunyi
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus /u/
Brjalan terus /u/
Karena berhenti atau mundur /u/
Berarti hancur. /u/
Apakah akan kita jual keyakinan kita /a/
Dalam pengabdian tanpa harga /a/
Akan maukah kita duduk satu meja /a/
Dengan para pembunuh tahun yang lalu /u/
Dalam setiap kalimat yang berakhiran : /a/
“ Duli Tuanku “ ? /u/
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus /u/
Berjalan terus /u/
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan /a/
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh /u/
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara /a/
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama /a/
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka /a/
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan /a/
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara. /a/
Tidak ada lagi pilihan lai. Kita harus /u/
Berjalan terus. /u/
f. Sarana Retorik
Pengulangan kalimat /Tidak ada
lagi pilihan lain.Kita harus/ /Berjalan terus/ diulang sebanyak dua kali, pada bagian tengah dan bagian akhir puisi.
Kata kita adalah pada kalimat ke tigabelas, diulang kembali pada kalimat
kelimabelas.
2. Analisis Struktur Batin Puisi
a. Tema
Tema/makna (sense); media
puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka
puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan. Dalam puisi berjudul Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
merupakan perjuangan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
b. Rasa
Rasa (feeling), yaitu sikap
penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Penyair ikut
merasakan penderitaan bangsa ini. Ia prihatin dengan keadaan bangsa yang masih meyedihkan.
Semangat utuk berubah juga muncul dalam puisi ini.
c. Nada
Nada (tone), yaitu sikap
penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. Penyair
megungkapka semangatnya untuk mengubah bangsa menuju kehidupan yang lebih baik,
dan damai.
d. Makna
Puisi berjudul Kita adalah Pemilik
Sah Republik Ini merupakan sebuah puisi yang menggambarkan ikhtiar bagsa kita
yang ingin maju, bangkit dari keterpurukan masa pejajahan. Memperjuangkan harga
diri dan citraya setelah dijajah oleh bangsa asing. Tema ini dipilih oleh
pegarang karena keprihatinan melihat keadaan bangsanya yang carut marut.
/Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup
sengsara/Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/. Kalimat ini mengagambarkan betapa menyedihkannya keadaan bangsa pada
saat itu, penderitaan yang datang bertubu-tubi seakan tiada berakhir.
Kondisi
dimana terjadinya degradasi moral yang semakin memperparah keadaan bangsa.
Banyak para pemeritah, dan cendekiawan bangsa yang hanya mementingkan
kepentingannya sendiri, tidak jujur, dan selalu terlibat korupsi. Hal ini
terlihat dalam kalimat /Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan/Dan seribu
pengeras suara yang hampa suara/
B. Puisi II
Sebuah
Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
1.
Analisis
Struktur Fisik Puisi
a.
Diksi
Puisi karya Taufik Ismail yang berjudul
Sebuah Jaket Berlumur Darah ini ditemukan sebuah diksi yang menggunakan bahasa
Betawi. /Abang-abang beca, kuli-kuli
pelabuhan/ kata abang dalam
bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata sapaan yang digunakan untuk
menyapa kakak laki-laki.
b.
Citraan
Citraan pertama yang
terdapat dalam puisi ini adalah citraan penglihatan pada kalimat / Kami semua telah menatapmu/. Kata menatapmu jelas menunjukkan citraan
penglihatan pada puisi diatas.
Selain
citraan penglihatan, citraan gerak juga tampak pada puisi ini. Citraan ini
terdapat pada kalimat /Telah pergi duka yang agung/ dan kalimat /Akan mundurkah kita sekarang/ . Kata pergi dan mundurkah menjelaskan citraan gerak, karena menyebabka sesuatu yang
ditampilkan menjadi gerak.
Citraan pendengaran atau cita auditif juga ada dalam
puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah. Pada bait ke empat, baris ke empat
terdapat kalimat / Teriakan-teriakan di
atas bis kota, pawai-pawai perkasa/. Kata Teriakan-teriakan cukup untuk menerangkan pencitraan pendegaran
karena berhubungan dengan indra pendengaran.
c.
Bahasa
Kias
Taufik Ismail sering
menggunakan bahsa kias dalam puisinya. Dalam puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah
in terdapat majas Personifikasi yang terdapat pada kalimat / Menunduk bendera setengah tiang./ digambarkan bahwa bendera
setegah tiang pun dapat menunduk seperti manusia. Menunduknya bendera setegah
tiang ini dapat diartikan sebagai kesedeihan yang amat mendalam. Hingga bendera
sudahsetengah tiang masih harus menunduk lagi karena rasa duka yang teramat
mendalam.
Selain personifikasi,
juga ditemukan simile, yaitu betuk perbadingan yang bersifat eksplisit.
Ditemukan dalam kalimat /Antara kebebasan
dan penindasan/ . Kata antara menjadi
kunci perbadingan dalam simile
d.
Wujud
Visual
Corak umum puisi karya
Taufik Ismail yang berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah termauk kedalam puisi
yang berbentuk panjang. Pada paragraf pertama terdiri dari empat baris dan
paragraf ke dua terdiri dari delapan baris. Pada paragraf ketiga sama dengan
paragraf pertama yang terdiri dari empat baris. Paragraf terakhir sama dengan
paragraf kedua yang terdiri dari delapan baris.
e.
Bunyi
Sebuah
Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah /a/
Kami semua telah menatapmu /u/
Telah pergi duka yang agung /u/
Dalam kepedihan bertahun-tahun./u/
Sebuah sungai membatasi kita /a/
Di bawah terik matahari Jakarta /a/
Antara kebebasan dan penindasan /a/
Berlapis senjata dan sangkur baja /a/
Akan mundurkah kita sekarang /a/
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’/a/
Berikara setia kepada tirani /i/
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. /a/
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu /u/
Kami semua telah menatapmu /u/
Dan di atas bangunan-bangunan /a/
Menunduk bendera setengah tiang. /a/
Pesan itu telah sampai kemana-mana /a/
Melalui kendaraan yang melintas /a/
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan /a/
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa /a/
Prosesi jenazah ke pemakaman /a/
Mereka berkata /a/
Semuanya berkata /a/
Lanjutkan Perjuangan. /a/
f.
Sarana
Retorika
Sarana Retorika atau
yang lazim dikenal denga gaya bahasa yang terdapat dalam puisi ini adalah
repetisi. Kalimat /Kami semua telah
menatapmu/ yang berada pada baris kedua paragraf pertama, diulang kembali
pada paragraf ketiga baris ke dua.
Selain repetisi
kalimat, repetisi kata berkata juga
ada dalam puisi ini. Kata berkata yang terdapat pada akhir kalimat paragraf ke
empat baris keenam, diulang pada akhir kalimat baris ketujuh paragraf keempat.
2. Analisis Struktur Batin Puisi
a. Tema
Tema/makna (sense); media
puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka
puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan. Tema yang diangkat dalam puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur
Darah ini adalah semagat perjuangan. Semangat perjuangan untuk memperoleh
keadilan dan semangat untuk melajutkan perjuangan.
b. Rasa
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang
terdapat dalam puisinya. Pada puisi ini peyair mengungkapkan perasaan sedihnya
melihat keadaan bangsanya yang carut-marut. Rasa jengkel atas aspirasi yang
tidak di dengarkan.
c. Nada
Nada (tone), yaitu sikap
penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa.
Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama
dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada
pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. Nada
yang diungkapkan dalam puisi ini adalah semangat melanjutkan perjuangan demi
memperoleh keadilan.
d.
Makna
Puisi berjudul Sebuah
Jaket Berlumur Darah ini pengarang mencoba menceritakan adanya sebuah jurang
pemisah antara rakyat dan penguasai. /Sebuah
sungai membatasi kita/ Di bawah terik matahari Jakarta/Antara kebebasan dan
penindasan/ Berlapis senjata dan sangkur baja/. Dari penggalan kalimat diatas
menunjukkan adanya jurang pemisah antara orang rakyat dan pemerintah.
Pemerintah yang berkuasa dengan kediktatoran dan rakyat yang selalu dikekang
kebebasannya.
Rakyat berusaha untuk
menyampaikan aspirasiya dapat dilihat dari penggalan paragraf ini /Pesan itu telah sampai kemana-mana/ Melalui
kendaraan yang melintas/Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/Teriakan-teriakan
di atas bis kota, pawai-pawai perkasa/ Prosesi jenazah ke pemakaman/ Mereka
berkata/ Semuanya berkata/ Lanjutkan Perjuangan./. Digambarkan jelas rakyak
yang berusaha menyampaikan aspirasinya. Mahasiswa disini menjadi simbol rakyat
itu. Walaupun pihak dari mahasiswa banyak yang gugur pada saat itu, namun
mereka pantang menyerah dan tetap terus berjuang.
Puisi
III
Karangan
Bunga
Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.
Ini dari kami
bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi’
(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)
1.
Analisis
Struktur Fisik Puisi
a.
Diksi
Diksi yang dipakai
dalam puisi ini tidak terlalu sulit. Karena memnggunakan bahasa Indonesia pada
keseluruhannya. Namun ada suatu kata pada kalimat / Datang ke Salemba/
kata Salemba bukanlah sebuah kata
yang berasal dari bahasa daerah ataupun bahasa asing. Salemba adalah sebuah
tempat yang ada di Kecamatan
Senen, Jakarta Pusat.
b.
Citraan
Citraan yang dapat
ditemukan pada puisi ini adalah citraan gerak yait pada kalimat /Dalam langkah malu-malu/. Kata langkah
menunjukkan citraan gerak, karena langkah merupakan suatu tidakan yang
menyebabkan sesuatu bergerak.
c. Bahasa kias
Simbol merupakan salah
satu komponen dari bahasa kias yang digunakan disini. Dapat dilihat pada
kalimat /Pita hitam pada karangan bunga/.
Kata pita hitam ini merupakan simbol
dari rasa berduka yang dirasakan.
d.
Wujud
Visual
Dilihat dari corak umum
puisi ini merupakan puisi pendek. Puisi ini hanya terdiri dari dua bait. Bait
pertama terdiri dari empat baris dan bait kedua terdiri dari lima baris.
Enjambemen juga tampak dalam puisi berjudul Karangan Bunga karya Taufik Ismail
ini. Dapat dilihat dari kalimat /Datang
ke Salemba/ Sore itu./ Kata sore itu menerangkan kalimat sebelumnya. /Bagi kakak yang di tembak mati/ siang
tadi’/ kata siang tadi juga
mejelaskan kata sebelumnya yaitu kata Bagi
kakak yang di tembak mati
e.
Bunyi
Karangan
Bunga
Tiga anak kecil /i/
Dalam langkah malu-malu /u/
Datang ke Salemba /a/
Sore itu. /u/
Ini dari kami
bertiga /a/
Pita hitam pada karangan bunga /a/
Sebab kami ikut berduka /a/
Bagi kakak yang di tembak mati /i/
siang tadi’ /i/
(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)
f.
Sarana
Retorika
Sarana
retorika yang digunakan dalam puisi diatas adalah ironi. Ironi merupakan bentuk
pengucapan kata-kata yang bertentangan dengan maksud untuk menyidir atau
mengejek. Dapat dilihat pada kalimat /Tiga
anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu.//. Dari
kalimat itu sangat tidak mungkin ada anak kecil yang datang ke daerah yang
berkoflik. Seharusnya orang-orang yang bertanggung jawab lah yang datang dan
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukan anak kecil yang tak tau apa-apa.
Anak kecil disini meggambarkan keberanian.
2.
Analisis
Struktur Batin Puisi
a.
Tema
Tema/makna (sense); media
puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka
puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna
keseluruhan. Tema puisi diatas adalah tentang realita sisa sisa-sisa peristiwa
demonstrasi mahasiswa.
b.
Rasa
Rasa (feeling), yaitu
sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Dalam
puisi ini penyair menggambarkan kesedihannya. Mengungkapkan dukanya karena
adanya korban dalam peristiwa demostrasi mahasiswa. Penilis merasa miris dengan
kejadian ini.
c.
Nada
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada
menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah,
menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap
bodoh dan rendah pembaca, dll. peyair menuangkan rasa kesedihannya kepada
pembaca. /Pita hitam pada karangan bunga/
Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang di tembak mati/siang tadi’// .
Kalimat tersebut mewakili perasaan sedih penyair.
d.
Makna
Puisi di atas
membicarakan peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 menentang orde
lama. Tiga anak kecil mewakili golongan manusia lemah yang masih suci dan murni
hatinya, yang sebenarnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi itu.
Tetapi mereka bertiga sudah mampu menyatakan duka cita terhadap gugurnya
mahasiswa yang ditembak mati oleh penguasa pada waktu itu. Karena itu ketiga
anak kecil membawa karangan bunga dalam langkah malu-malu. Tanda kedukaan
dilambangkan dengan kalimat /pita hitam pada karangan bunga./
DAFTAR PUSTAKA
Wiyatmi.2009.
Pengantar Kajian
Sastra.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Sayuti, Saminto A.2010.
Berkenalan
dengan Puisi.Yogyakarta: Gama Media.
Ismail, Taufik.2009.
Taufik Ismail.
http://taufiqismail.com/. Diungguh pada
4 Januari 2013