Selasa, 27 September 2016

Roda Kehidupan

Sayang, dengarkan ini baik-baik. Roda kehidupan itu berputar, percayalah. Terkadang kita berada di atas, tapi akan ada saatnya kita berada di bawah. Nikmati dinamikanya, mulailah bersahabat dengannya. Allah sudah mengatur sedemikian indahnya, percaya bahwa Allah akan memberikan yang indah dari yang terindah (lagi dan lagi).

Jangan tangisi keadaan yang tidak pasti, jangan sesali apa yang sudah terlewati. Jika memang sekarang kamu sedang merasa di bawah, ingatlah kembali "bahwa roda kehidupan itu berputar". Mungkin memang saat ini adalah saatnya kamu untuk berjuang, mungkin memang jalanmu jauh lebih panjang daripada yang sudah kau lihat indah sekarang.Tapi yakinlah, hasil tidak akan mengkhianati usaha. Jangan pernah berpikir untuk menyerah, bertahan dan rubahlah. Sertakan Allah dalam setiap langkahmu.

Ingatlah, bahwa ada seseorang yang menunggu dan ingin selalu menemani perjuanganmu. 

Analisis Puisi


ANALISIS PUISI KARYA TAUFIK ISMAIL
BERDASARKAN PENDEKATAN STRUKTURAL
OLEH : RENNY INTAN K

A.   Puisi I
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur.
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
“ Duli Tuanku “ ?
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa.
Tidak ada lagi pilihan lai. Kita harus
Berjalan terus.

Taufik Ismail, Tirani, 1966

1.      Analisis Struktur Fisik Puisi:
a.      Diksi
Puisi bertemakan perjuangan ini banyak menggunakan kata-kata yang menggambarkan keadaan bangsa Indonesia. Keadaan bangsa yang dinilai masih membutuhkan perjuangan, dimana pederitaan masih terjadi walaupun bangsa Indonesia sudah diakui kemerdekaannya. /Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/  kata-kata tersebut menggambarkan kesusahan yang masih dialami oleh bangsa.
Dalam puisi Taufik Ismail yang berjudul Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini dijumpai kata-kata dalam bahasa Sumatra /Duli tuanku/ yang dalam bahasa Indonesia bisa dimaknai baik tuan, atau siap bos. Munculnya bahasa yang biasa digunakan di daerah Sumatra ini karena Taufik Ismail sendiri yang lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat.

b.      Citraan
Citraan yang terdapat dalam puisi ini yang pertama adalah citraan penglihatan, seperti yang ada pada kalimat /Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan/  kata bermata kuyu merupakan kata yang menjelaskan pencitraan peglihatan. Kalimat diatas menunjukkan bahwa pencitraan mereka yang telah tidak bersih lagi karena setiap hari bergantung harap. Kalimat kedua /Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ menggambarkan bahwa setiaphari mereka berharap agar ada oplet ataupun bus yang mau berhenti untuk mereka namun yang mereka lihat hanyalah let dan bus yang selalu penuh. Hal ini menggambarkan keadaan bangsa kita, yang tidak memberikan kesempatan yang cukup untuk orang-orang kecil.
Selain citraan penglihatan, citraan pendengaran juga tampak dalam puisi ini. Seperti yang terlihat dalam kalimat /Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka/ dan kalimat /Dan seribu pengeras suara yang hampa suara/. Dalam kedua kalimat tersebut ada kata diam dan pengeras suara yang mewakili pencitraan pendengaran.
Pencitraan gerak juga terdapat dalam puisi karya Taufik Ismail ini. Pencitraan ini terlihat dalam kalimat /Berjalan terus/ dan kalimat / Karena berhenti atau mundur/. Kata berjalan , berhenti, dan mundur membuat sesuatu yang ditampilkan tampak bergerak.

c.       Bahasa kias
Bahasa kias juga menghiasi puisi karya Taufik Ismail ini. Personifikasi dapat kita lihat pada kalimat /Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/. Banjir, gunung api, kutuk dan hama digambarkan dapat memukul seperti manusia. Ini merupakan perumpamaan dari cobaan yang datang bertubi-tubi dan menyengsarakan.
Kalimat  /Dan seribu pengeras suara yang hampa./ ini menunjukkan bahasa kias hiperbola yang melebih-lebihkan. Seperti hal yang tidak mungkin ada seribu pengeras suara namun hampa suara.

d.      Wujud Visual
Corak  umum puisi ini termasuk kedalam puisi yang panjang. Dan tidak terikat pembaitian ataupun persajakan. Enjambemen atau loncatan kesatuan sintaksis yang terdapat pada baris tertentu ke dalam baris berikutnya juga dapat terlihat disini. Yaitu pada kalimat /Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus/ /Berjalan terus/. Kata berjalan terus menerangkan kalimat diatasnya atau kalimat sebelumnya.

e.       Bunyi
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus /u/
Brjalan terus /u/
Karena berhenti atau mundur /u/
Berarti hancur. /u/
Apakah akan kita jual keyakinan kita /a/
Dalam pengabdian tanpa harga /a/
Akan maukah kita duduk satu meja /a/
Dengan para pembunuh tahun yang lalu /u/
Dalam setiap kalimat yang berakhiran : /a/
“ Duli Tuanku “ ? /u/
Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus /u/
Berjalan terus /u/
Kita adalah manusia bermata kuyu, yang di tepi jalan /a/
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh /u/
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara /a/
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama /a/
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka /a/
Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan /a/
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara.  /a/
Tidak ada lagi pilihan lai. Kita harus /u/
Berjalan terus. /u/

f.       Sarana Retorik
Pengulangan kalimat /Tidak ada lagi pilihan lain.Kita harus/ /Berjalan terus/ diulang sebanyak dua kali, pada bagian tengah dan bagian akhir puisi. Kata kita adalah pada kalimat ke tigabelas, diulang kembali pada kalimat kelimabelas.

2.      Analisis Struktur Batin Puisi
a.      Tema
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Dalam puisi berjudul Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini merupakan perjuangan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
b.      Rasa
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Penyair ikut merasakan penderitaan bangsa ini. Ia prihatin dengan keadaan bangsa yang masih meyedihkan. Semangat utuk berubah juga muncul dalam puisi ini.
c.        Nada
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. Penyair megungkapka semangatnya untuk mengubah bangsa menuju kehidupan yang lebih baik, dan damai.
d.      Makna
Puisi berjudul Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini merupakan sebuah puisi yang menggambarkan ikhtiar bagsa kita yang ingin maju, bangkit dari keterpurukan masa pejajahan. Memperjuangkan harga diri dan citraya setelah dijajah oleh bangsa asing. Tema ini dipilih oleh pegarang karena keprihatinan melihat keadaan bangsanya yang carut marut.
/Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama/. Kalimat ini mengagambarkan betapa menyedihkannya keadaan bangsa pada saat itu, penderitaan yang datang bertubu-tubi seakan tiada berakhir.
Kondisi dimana terjadinya degradasi moral yang semakin memperparah keadaan bangsa. Banyak para pemeritah, dan cendekiawan bangsa yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri, tidak jujur, dan selalu terlibat korupsi. Hal ini terlihat dalam kalimat /Kita yang tak punya kepentingan dengan seribu slogan/Dan seribu pengeras suara yang hampa suara/







B.   Puisi II
Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.

Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.

Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.

1.      Analisis Struktur Fisik Puisi
a.      Diksi
Puisi karya Taufik Ismail yang berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah ini ditemukan sebuah diksi yang menggunakan bahasa Betawi. /Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/ kata abang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata sapaan yang digunakan untuk menyapa kakak laki-laki.

b.      Citraan
Citraan pertama yang terdapat dalam puisi ini adalah citraan penglihatan pada kalimat / Kami semua telah menatapmu/. Kata menatapmu jelas menunjukkan citraan penglihatan pada puisi diatas.
            Selain citraan penglihatan, citraan gerak juga tampak pada puisi ini. Citraan ini terdapat pada kalimat /Telah pergi duka yang agung/ dan kalimat /Akan mundurkah kita sekarang/ . Kata pergi dan mundurkah menjelaskan citraan gerak, karena menyebabka sesuatu yang ditampilkan menjadi gerak.
            Citraan  pendengaran atau cita auditif juga ada dalam puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah. Pada bait ke empat, baris ke empat terdapat kalimat / Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa/. Kata Teriakan-teriakan cukup untuk menerangkan pencitraan pendegaran karena berhubungan dengan indra pendengaran.

c.       Bahasa Kias
Taufik Ismail sering menggunakan bahsa kias dalam puisinya. Dalam puisi Sebuah Jaket Berlumur Darah in terdapat majas Personifikasi yang terdapat pada kalimat / Menunduk bendera setengah tiang./ digambarkan bahwa bendera setegah tiang pun dapat menunduk seperti manusia. Menunduknya bendera setegah tiang ini dapat diartikan sebagai kesedeihan yang amat mendalam. Hingga bendera sudahsetengah tiang masih harus menunduk lagi karena rasa duka yang teramat mendalam.
Selain personifikasi, juga ditemukan simile, yaitu betuk perbadingan yang bersifat eksplisit. Ditemukan dalam kalimat /Antara kebebasan dan penindasan/ . Kata antara menjadi kunci perbadingan dalam simile

d.      Wujud Visual
Corak umum puisi karya Taufik Ismail yang berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah termauk kedalam puisi yang berbentuk panjang. Pada paragraf pertama terdiri dari empat baris dan paragraf ke dua terdiri dari delapan baris. Pada paragraf ketiga sama dengan paragraf pertama yang terdiri dari empat baris. Paragraf terakhir sama dengan paragraf kedua yang terdiri dari delapan baris.

e.       Bunyi
Sebuah Jaket Berlumur Darah
Sebuah jaket berlumur darah /a/
Kami semua telah menatapmu /u/
Telah pergi duka yang agung /u/
Dalam kepedihan bertahun-tahun./u/

Sebuah sungai membatasi kita /a/
Di bawah terik matahari Jakarta /a/
Antara kebebasan dan penindasan /a/
Berlapis senjata dan sangkur baja /a/
Akan mundurkah kita sekarang /a/
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’/a/
Berikara setia kepada tirani /i/
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. /a/

Spanduk kumal itu, ya spanduk itu /u/
Kami semua telah menatapmu /u/
Dan di atas bangunan-bangunan /a/
Menunduk bendera setengah tiang. /a/

Pesan itu telah sampai kemana-mana /a/
Melalui kendaraan yang melintas /a/
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan /a/
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa /a/
Prosesi jenazah ke pemakaman /a/
Mereka berkata /a/
Semuanya berkata /a/
Lanjutkan Perjuangan. /a/

f.       Sarana Retorika
Sarana Retorika atau yang lazim dikenal denga gaya bahasa yang terdapat dalam puisi ini adalah repetisi. Kalimat /Kami semua telah menatapmu/ yang berada pada baris kedua paragraf pertama, diulang kembali pada paragraf ketiga baris ke dua.
Selain repetisi kalimat, repetisi kata berkata juga ada dalam puisi ini. Kata berkata yang terdapat pada akhir kalimat paragraf ke empat baris keenam, diulang pada akhir kalimat baris ketujuh paragraf keempat.

2.      Analisis Struktur Batin Puisi
a.      Tema
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Tema yang diangkat dalam puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah ini adalah semagat perjuangan. Semangat perjuangan untuk memperoleh keadilan dan semangat untuk melajutkan perjuangan.

b.      Rasa
              Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Pada puisi ini peyair mengungkapkan perasaan sedihnya melihat keadaan bangsanya yang carut-marut. Rasa jengkel atas aspirasi yang tidak di dengarkan.
c.       Nada
Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. Nada yang diungkapkan dalam puisi ini adalah semangat melanjutkan perjuangan demi memperoleh keadilan.
d.       Makna
Puisi berjudul Sebuah Jaket Berlumur Darah ini pengarang mencoba menceritakan adanya sebuah jurang pemisah antara rakyat dan penguasai. /Sebuah sungai membatasi kita/ Di bawah terik matahari Jakarta/Antara kebebasan dan penindasan/ Berlapis senjata dan sangkur baja/. Dari penggalan kalimat diatas menunjukkan adanya jurang pemisah antara orang rakyat dan pemerintah. Pemerintah yang berkuasa dengan kediktatoran dan rakyat yang selalu dikekang kebebasannya.
Rakyat berusaha untuk menyampaikan aspirasiya dapat dilihat dari penggalan paragraf ini /Pesan itu telah sampai kemana-mana/ Melalui kendaraan yang melintas/Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan/Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa/ Prosesi jenazah ke pemakaman/ Mereka berkata/ Semuanya berkata/ Lanjutkan Perjuangan./. Digambarkan jelas rakyak yang berusaha menyampaikan aspirasinya. Mahasiswa disini menjadi simbol rakyat itu. Walaupun pihak dari mahasiswa banyak yang gugur pada saat itu, namun mereka pantang menyerah dan tetap terus berjuang.





Puisi III
Karangan Bunga

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu.

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Bagi kakak yang di tembak mati
siang tadi’

(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)

1.      Analisis Struktur Fisik Puisi
a.      Diksi
Diksi yang dipakai dalam puisi ini tidak terlalu sulit. Karena memnggunakan bahasa Indonesia pada keseluruhannya. Namun ada suatu kata pada kalimat / Datang ke Salemba/ kata Salemba bukanlah sebuah kata yang berasal dari bahasa daerah ataupun bahasa asing. Salemba adalah sebuah tempat yang ada di  Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
b.      Citraan
Citraan yang dapat ditemukan pada puisi ini adalah citraan gerak yait pada kalimat /Dalam langkah malu-malu/. Kata langkah menunjukkan citraan gerak, karena langkah merupakan suatu tidakan yang menyebabkan sesuatu bergerak.
c.       Bahasa kias
Simbol merupakan salah satu komponen dari bahasa kias yang digunakan disini. Dapat dilihat pada kalimat /Pita hitam pada karangan bunga/. Kata pita hitam ini merupakan simbol dari rasa berduka yang dirasakan.
d.      Wujud Visual
Dilihat dari corak umum puisi ini merupakan puisi pendek. Puisi ini hanya terdiri dari dua bait. Bait pertama terdiri dari empat baris dan bait kedua terdiri dari lima baris. Enjambemen juga tampak dalam puisi berjudul Karangan Bunga karya Taufik Ismail ini. Dapat dilihat dari kalimat /Datang ke Salemba/ Sore itu./ Kata sore itu menerangkan kalimat sebelumnya. /Bagi kakak yang di tembak mati/ siang tadi’/ kata siang tadi juga mejelaskan kata sebelumnya yaitu kata Bagi kakak yang di tembak mati
e.      Bunyi
Karangan Bunga

Tiga anak kecil /i/
Dalam langkah malu-malu /u/
Datang ke Salemba /a/
Sore itu. /u/

Ini dari kami bertiga /a/
Pita hitam pada karangan bunga /a/
Sebab kami ikut berduka /a/
Bagi kakak yang di tembak mati /i/
siang tadi’ /i/
(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)
f.       Sarana Retorika
Sarana retorika yang digunakan dalam puisi diatas adalah ironi. Ironi merupakan bentuk pengucapan kata-kata yang bertentangan dengan maksud untuk menyidir atau mengejek. Dapat dilihat pada kalimat /Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu.//. Dari kalimat itu sangat tidak mungkin ada anak kecil yang datang ke daerah yang berkoflik. Seharusnya orang-orang yang bertanggung jawab lah yang datang dan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukan anak kecil yang tak tau apa-apa. Anak kecil disini meggambarkan keberanian.
2.      Analisis Struktur Batin Puisi
a.      Tema
Tema/makna (sense); media puisi adalah bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi harus bermakna, baik makna tiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Tema puisi diatas adalah tentang realita sisa sisa-sisa peristiwa demonstrasi mahasiswa.
b.      Rasa
Rasa (feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam puisinya. Dalam puisi ini penyair menggambarkan kesedihannya. Mengungkapkan dukanya karena adanya korban dalam peristiwa demostrasi mahasiswa. Penilis merasa miris dengan kejadian ini.
c.       Nada
              Nada (tone), yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dll. peyair menuangkan rasa kesedihannya kepada pembaca. /Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang di tembak mati/siang tadi’// . Kalimat tersebut mewakili perasaan sedih penyair.
d.      Makna
Puisi di atas membicarakan peristiwa demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966 menentang orde lama. Tiga anak kecil mewakili golongan manusia lemah yang masih suci dan murni hatinya, yang sebenarnya belum tahu apa-apa tentang peristiwa demonstrasi itu. Tetapi mereka bertiga sudah mampu menyatakan duka cita terhadap gugurnya mahasiswa yang ditembak mati oleh penguasa pada waktu itu. Karena itu ketiga anak kecil membawa karangan bunga dalam langkah malu-malu. Tanda kedukaan dilambangkan dengan  kalimat /pita hitam pada karangan bunga./



DAFTAR PUSTAKA

Wiyatmi.2009.Pengantar Kajian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Sayuti, Saminto A.2010. Berkenalan dengan Puisi.Yogyakarta: Gama Media.
Ismail, Taufik.2009.Taufik Ismail. http://taufiqismail.com/. Diungguh pada 4 Januari 2013

Jalan Menikung: Para Priyayi 2 (Umar Kayam)

Buletin Rahsas
Ajang Pembelajaran Menulis Mata Kuliah ”Sejarah Sastra Indonesia” Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, UNY
edisi V/1, Mei 2012

Sekilas Info

Mata kuliah ini diampu oleh Dr. Nurhadi, M.Hum, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pengajar asal Pemalang ini menyele­saikan kuliah S3 di UGM, Yogyakarta dengan menulis disertasi yang mengangkat karya-karya Seno Gumira Ajidarma.
____________


Penulisan esai tentang Sejarah Sastra Indonesia ini diikuti  oleh para mahasiswa PBSI kelas K, L, M dan N tahun ajaran 2010/2011 semester genap. Tulisan-tulisan ini sebagai bentuk bagian ujian akhir matakuliah.
____________







Tulisan ini merupakan karya sendiri, bukan jiplakan atau karya orang lain



Renny Intan Kartika
Nim: 11201244038
Kelas N PBSI 2011



Buletin Rahsas terbit setiap minggu pada hari Sabtu, mengangkat tulisan-tulisan tentang sejarah sastra Indonesia oleh peserta kuliah. Redaksi  edisi kali ini: Renny Intan K, NIM 11201244038; HP: 085743051595 rennyintankartika@yahoo.com












Novel Jalan Menikung ini erat kaitannya dengan novel Para Priyayi karena Jalan Menikung ini merupakan kelanjutan dari novel Para Priyayi.


“Jadilah orang yang bersikap Prasodjo, begitu pesan yang selalu diulang-ulanginya kepada saya”
Wulan Anggraini (putri bungsu umar kayam)





















Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang realis dengan kemampuan mengolah data-data kultural dan etnis secara kreatif.
















JALAN MENIKUNG : Para Priyayi 2
Umar Kayam
Oleh Renny Intan K

A.  Pendahuluan

Umar Kayam, ia adalah seorang sastrawan besar yang sangat terkenal dengan dedikasinya di berbagai bidang. Ia lahir di Ngawi, 30 April 1932. Ia memperoleh gelar MA dari University of New York dan gelar Ph.D dari Cornell University, Ithaca, Amerika. Umar Kayam termasuk tokoh yang banyak meakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya.
Karya-karya Umar Kayam adalah berupa fiksi dan non fiksi. Dalam karya fiksinya, ia menulis cerpen, novelet, dan Novel. Cerpennnya yang paling terkenal adalah Seribu Kunang-kunang di Manhattan yang berlatarkan Amerika. Beberapa cerpennya yang lain juga berlatarkan Amerika.
Untuk novelnya sendiri bercerita tentang kehidupan para priyayi. Novel pertamanya terbit pada tahun 1992. Novel berjudul Para Priyayi ini berkisah tentang kehidupan para priyayi, novel ini merupakan cerita balik tentang kehidupan Umar Kayam pada masa lalu. Sedangkan novel kedua merupakan kelanjutan dari novel pertama yang berjudul Jalan Menikung : Para Priyayi 2. Di novel keduannya ini menceritakan tentang generasi selanjutnya dari kehidupan para priyayi, dimana kehdupan mereka sudah mulai mendunia. Menggambarkan realita kehidupan sekarang dimana terjadi percampuran kebudayaan di dalamnya.
Novel keduanya ini di tulis pada saat ia berada di Kyoto selama 6 bulan. Novel ini diterbitkan pada tahun 1999 dan merupakan novel terakhir dari Umar Kayam. Umar Kayam menutup usai pada tanggal 16 Maret 2002, ia meninggalkan seorang istri yaitu Roslina Hanoum dan dua orang anak, Sita Aripurnami dan Wulan Angraeni. Walupun ia sudah tiada lagi, namun karya-karyanya akan selalu di kenang

B.   Jalinan Cerita

Harimurti, anak tunggal dari pasangan Hardojo dan Sumarti pada sat iu sudah lama bekerja di Penerbitan Mulia Mutu sebagai anggota. Pada suatu hari ia di ajak keluar oleh atasannya untuk makan siang di lestoran Cina oleh pimpinan redaksinya. Dalam makan siang tersebut, terjadi perbincangan yang cukup serius. Pemimpin redaksinya meminta agar Harimurti mengundurkan diri dari pekerjaannya karena dianggap termasuk dalam kategori “tidak bersih diri”. Harimurti kemudian dengan rela mengundurkan diri.
Yang menambahkannya menjadi sedih lagi adalah anak semata wayangnya yang sudah menyelesaikan pendidikan di Sunnybrook College berjanji akan segera pulang. Eko adalah anak semata wayang Harimurti-Suli, ia adalah anak yang pandai sehingga mendapat beasiswa bersekolah di Amerika. Ia tinggal bersama keluarga yahudi Prof. Samuel D Levin. Kepulangan Eko mencemaskan Harimurti karena ia mencemaskan jika Eko juga dikenai predikat “tidak bersih lingkungan”. Keluarga Lantip yang merasa ikut bertanggung jawab atas Eko ikut memikirkan hal ini, mereka berharap agar Harimurti bisa menerima keadaan. Harimurti pun mengirimkan surat kepada Eko agar tidak pulang dahulu terkait dengan masalah ini.
Berkat rekomendasi dari Prof. Levin dan ijasahnya, ia pun mendapatkan pekerjaan sebagai editor pada penerbitan Asia Books. Karena pekerjaannya yang bagus ia dianggkat menjadi asisten Alan Bernstein. Eko yang mulanya hanya menganggap Claire anak gadis  Prof. Levin sebagai adiknya, tetapi lama-kelamaan mereka berdua saling jatuh cinta. Hingga pada suatu hari Claire memberitahukan bahwa ia hamil, Eko segera memberitahukan kabar ini kepada orang tua mereka.
Disisi lain keluarga Tommi, anak bungsu dari Noegroho berniat untuk memugar makam eyang leluhur mereka sesuai dengan kehendak Tommi yaitu megah. Tommi juga telah memindahkan makan yang berada disekitar eyang leluhur mereka. Harimurti dan Lantip sebenarnya kurang setuju dengan hal tersebut.
Eko akhirnya akan menikahi Claire. Ia meminta restu kepada orang tuanya agar pernikahannya berjalan lancar dan berjanji pada saat menandatangani akte pernikahan di kota madya nanti, ia akan mengucapkan dalam hati surat Al-Fatihah dan surat Ar-Rumm. Eko dan keluarga Levin bersepakat untuk tidak menyelenggarakan upacara pernikahan agama demi menghindari persengketaan. Sementara itu anak bungsu keluarga Tommi justru mengaku telah hamil dari hubungannnya dengan Boy Saputro. Tommi tidak menyetujui pernikahan anaknya itu karena ia tidak mau darah keturunan Sastrodarsono dicampuri oleh darah Cina. Sampai pada hari pernikahan anaknya pun, Tommi tidak mau hadir. Hanya Jeannett istrinya, di temani keluarga Harimurti, Lantip dan Marie. Perkawinan di langsungkan di Semarang secara meriah dan besar-besaran, tanpa kehadiran Tommi.
Eko mendapat hadiah bulan madu dari tempatnya bekerja ia di tugaskan untuk ke beberapa negara, yang salah satunya adalah di Indonesia. Eko dan Claire mendapat waktu selama tiga bulan. Sesampainya di Jakarta ia disambut oleh Harimurti-Suli dan Lantip-Halimah. Betapa senangnya Suli bertemu dengan anaknya tersebut. Beberapa hari di Jakarta, Eko mengajak Claire untuk berjalan-jalan melihat-lihat keadaan kota Jakarta. Selain itu eko juga mengajak Claire untuk sowan ke rumah Tommi. Eko dan Claire di sambut hangat oleh keluarga Tommi, bahkan Jeanett memberikan hadiah perhiasan mahal kepada Claire. Mereka di jamu habis-habisan dengan makanan dan minuman yang di pesan dari hotel terkenal yang ada di Jakarta. Tommi juga memasukkan amplop tebal ke saku Eko, setelah dibuka di mobil ternyata berisi uang sebanyak sepuluh ribu US dolar. Selain kerumah Tommi, Eko dan Claire juga sowan kerumah Marie. Dan terakhir mereka sowan kerumah Lantip dan Halimah
Hari peresmian pemugaran makam pun tiba. Jatuh pada hari Sabtu wage, hari lahir, weton Pak Sastrodarsono. Beberapa hari sebelumnya, anggota keluarga besar Sastrodarsono sudah berkumpul di hotel paling besar di Madiun. Menurut Tommi, makna pemugaran ini adalah klimaks dari usaha anak cucu, buyut, semua trah Sastrodarsono untuk menerjemahkan pepatah mikul dhuwur mendhem jero sebagai memikul tinggi-tinggi dan menanam dalam-dalam keharuman nama keluarga Sastrodarsono.
Kontras dengan keadaan Sastrodarsono, makam orang tua Halimah tidak mewah seperti itu. Kompleks makamnya tampak seperti lapangan rumput alang-alangyang liar tak terpelihara. Di akhir cerita, Eko dan Claire kembali ke Sunnybrook. Beberapa bulan kemudian Claire melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Yahudi Solomon. Dalam pekerjaannya, terjadi perombakan besar-besaran terhadap perusahaan tempat Eko bekerja. Ia pun memilih untuk mengundurkan diri dan bersama Alan Bernstein mendirikan penerbitan baru yang masih mau melihat keindahan sastra, filsafat dan sejarah.

C. Sejarah Penulisannya

Jalan  Menikung: Para Priyayi 2 ini merupakan novel kedua dan novel terakhir dari Umar Kayam. Novel ini merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya yaitu Para Priyayi. Novel ini ditulis pada saat ia berada di Kyoto.
Pada tahun 1998, Umar Kayam kembali mendapat kesempatan pergi ke luar negeri atas undangan Kyoto University, Jepang selama 6 bulan. Selama 6 bulan di Kyoto ia di temani oleh istrinya Roslina Hanoum untuk tiga bulan pertama, sedangkan untuk tiga bulan selanjutnya ia di temani oleh anak bungsunya Wulan Anggraeni. Selama di Kyoto ini kondisi kesehatannya lebih menurun, sehingga untuk pergi kemana pun beliau harus dengan pengawalan ketat dari anak ataupun istrinya. Bahkan untuk memasukkan anak kunci ke lubang pintu pun ia tidak sanggup. Namun dalam kondisi yang seperti itu pun ia masih berkarya, yaitu dengan menulis novel keduanya ini Jalan Menikung : Para Priyayi 2.
Novel Jalan Menikung ini erat kaitannya dengan novel Para Priyayi karena Jalan Menikung ini merupakan kelanjutan dari novel Para Priyayi. Umar Kayam tergerak untuk menulis novel Para Priyayi ini karena merasa dikecewakan oleh rang-orang bukan Jawa, terutama para pakar Barat yang menganggap bahwa seakan-akan priyayi ini merupakan dunia yang jelas sekali. Orang Barat dinilai tidak mengerti nuansa simbol, harapan-harapan dan kekecewaan golongan priyayi ini dalam mengejar kamulyan (kemuliaan), Kamukten (kesejahteraan) dan bagaimana dulu kesedhan orang tua saat menyaksikan kegagalan anaknya untuk menjadi priyayi.
Umar Kayam terkenal dengan teorinya mengenai manusia Indonesia sebagai “pejalan budaya” ( cultural commuter ), yaitu sebagai orang-orang yang bergerak secara bolak-balik dari budaya tradisional ke budaya modern. Hampir semua karya Umar Kayam berbicara tentang persetubuhan antara kedua dunia tersebut. Sampai pada akhir hayatnya, Umar kayam tetap bertahan pada dunia tersebut. Dalam novel Jalan Menikung, ada kecenderungan yang samar-samar padanya untuk berbicara sebuah dunia ang lain, yang leas dari dikotomi dunia tradisonaldan modern tersebut. Ia sudah mulai berbicara dunia yang lain, yaitu dunia global. Namun perspektif yang digunakan untuk memahami dunia di atas masih sama yaitu dunia modern ang sepi dalam kesendirian dan dunia tradisonal yang ramai, komunal.

D.  Jalan Menikung Diantara Karya-KarYA Umar Kayam yang Lain. 

Jalan Menikung, Novel kedua dari Umar Kayam ini merupakan kelanjutan dari novel sebelum yaitu Para Priyayi. Novel ini di terbitkan pada tahun 1999, novel kedua sekaligus terakhir dari Umar Kayam.
Sebelum menulis novel, karya pertama Umar Kayam adalah cerpen yang berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, cerpen ini muncul di majalah Horison, No. 4 Tahun I, 1966. Yang kemudian di terbitkan menjadi satu kumpulan cerpen. Ia juga menulis novelette berjudul Sri Sumarah dan Bawok pada tahun 1975. Ia juga menulis cerita anak-anak yang berjudul Totok dan Toni yang terbit pada tahun yang sama. Novel Para Priyayi sendiri terbit pada tahun 1992. Adapula cerpen yang dipublikasikan oleh Yayasan Untuk Indonesia dengan judul Parta Krama (1997) dan Lebaran di Karet,di Karet… yang di terbitkan setelah Umar Kayam meninggal (2002). Selain fiksi, ia juga membuat beberapa karya non fiksi.
Berbeda dengan cerpennya Seribu Kunang-knang di Manhattan yang membahas tentang kehidupan Barat, novel Jalan menikung lebih menekankan pada kehidupan Priyayi yang mulai mendunia atau mengglobal, mulai terjadinya pergeseran-pergeseran nilai sosial di dalamnya.

E.  Peran Umar Kayam dalam Sejarah Satra Indonesia atau pun pada Umumnya

Perananan Umar Kayam dalam sejarah Indonesia ini sangatlah banyak. Ia bukan saja berperan sebagai penulis, namun juga berperan dalam perfilman Indonesia. Ia juga merupakan guru besar Fakultas Sastra di Universitas Gadjah Mada
Rachmat Djoko Pradopo memasukan Umar Kayam sebagai sastrawan angkatan ’50 (1950-1970). Periode angkatan ’50 ini memiliki gaya bercerita murni. Gaya bercerita murni menyebabkan alur cerita menjadi padat tanpa digresi. Karena hanya menyajikan cerita, maka pembaca memiliki kebebasan untuk menafsir.
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang realis dengan kemampuan mengolah data-data kultural dan etnis secara kreatif. Realisme Umar Kayam hadir melalui pendekatan antropologis. Baik dari segi cara pengungkapan maupun pendekatan terhadap kehidupan. Realisme kultural itu menjadi suatu kecenderungan yang banyak ditiru oleh generasi selanjutnya. Demikian pula ketika Umar Kayam dinilai orang telah mengubah mandulnya ilmu-ilmu sosial.
Dalam dunia perfilman Indonesia, beberapa kebijakan yang dinilai sangat berperan dalam perjalanan sejarah perfilman Indonesia adalah mengenai import film. Ketika terpilih menjadi Dirjen RTF, Umar Kayam mengeluarkan kebijakan yang disahkan oleh Menteri Penerangan B.M Diah melalui SK.No 71/SK/M/1967. Kebjakan yang sering dikenal dengan SK 71 itu bermaksud menstimulasi importir ( baik importir film maupun importir barang dagang lainnya semisal tekstil dan mesin) untuk mendatangkan film luar negeri sebanyak-banyaknya, disertai dengan kewajiban membeli saham yang akan digunakan untuk mendanai produksi film dalam negeri. Selama menjabat Dirjen RTF kebijakan yang terkenal adalah menegenai perfilman. Namun ia diberhentikan karena persoalan televisi dan radio. Orde Baru menginginkan orang-orang ketaatan total dalam pengabdian sepenuhnya terhadap penguasa.
Dalam seni peran, Umar Kayam pernah menjadi aktor dalam film “Karmila”, “Kugapai Cintamu”, “Pengkhianatan G 30S/PKI”, “Jakarta 66”. Juga penulis skenario untuk film “YangMuda Yang Bercinta”, “Jago”, dan “Frustasi Puncak Gunung”. Pernah juga menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia.


F. Pengaruh Novel Jalan Menikung dalam sejarah Persepsinya.

Novel Jalan Menikung ini yang merupakan lanjutan dari novel Para Priyayi masih meneruskan tentang cerita generasi priyayi. Namun dalam novel ini mulai terjadi beberapa pergeseran sosial dimana kehidupan generasi selanjutnya yang sudah mulai mendunia. Novel ini mengajak kita untuk membuka mata dengan keadaan yang sekarang ini. Kehidupan yang mulai mendunia. Terjadinya percampuran kebudayaan antara Jawa, Amerika dan Yahudi
Menurut Sutrisno dalam tulisannya di majalah tempo (2000), menuturkan bahwa lewat Jalan Menikung, Umar Kayam mencoba memberikan gambaran yang baru tentang generasi baru priyayi. Umar Kayam berusaha menggeluti konflik nilai, dan benturan pendapat umum secara sehat. Selain itu, melalui sindiran dan jawaban yang sinis tentang fakta yang sebenarnya dalam menghayati kearifan priyayi Jawa, Umar Kayam lewat Jalan Menikung mampu menarik perhatian pembacanya.
Sementara itu, menutut Chusnanto dalam tulisannya di majalah Tempo (2000) mencermati bahwa dalam Jalan Menikung Umar Kayam memberikan gambaran tentang kehidupan priyayi Jawa modern yang masih menunjukkan filsafat Jawa yang tetap dianut dan dipertahankan hingga saat ini. Lewat Jalan Menikung, Umar Kayam menyajikan olahan fiksi novel ini dengan gaya tersendiri : penuh humor, sindiran, dan lebih menarik dari novel sebelumnya.


Daftar Pustaka

B. Rahmanto. 2004. Umar Kayam: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo.
Siregar, Ashadi., dan Faruk HT. 2005. Umar Kayam: Luar Dalam. Yogyakarta: PINUS.
Luthfi, Ahmad Nashih. 2007. Manusia Ulang Alik: Biografi Umar Kayam. Yogyakarta: Sains dan Eja Publisher.
Nurhadi. 2010. Armada Kapal Sastra Indonesia, Periode Pembangunan (1965-1985) : Rangkaian Komentar-Ulasan. Yogyakarta: Tahomata Press.
Raharja, Sulastama. 2011. Jalan Menikung dalam http://rakbukuonline.wordpress.com/2011/01/20/para-priyayi-2-jalan-menikung/. Diungguh 15 Juni 2012.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2000/02/21/BK/mbm.20000221.BK111757.id.html


                              

           
Karya- Karya Umar Kayam
            Umar Kayam pernah menulis buku kanak-kanak Totok dan Toni (1975).Dua Noveletnya yang berjudul ”Sri Sumarah” dan ”Bawuk” pernah diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Sri Sumarah dan Bawuk  (1975) . akan tetapi akhirnya disatukan dengan kumpulan cerpennya Seribu Kunang-kunang di Manhattan (1972) kedalam judul Sri Sumarah dan Cerita Pendek Lainnya (1986). Tiga cerpennya, yaitu ”Seribu Kunang-kunang di Manhattan”, ”Bawuk ” dan ” Musim Gugur Kembali d Connecticut”, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam antologi Harry Aveling (ed.) From Surabaya to Armageddon (1976). Cerpen-cerpennya yang lain juga sudah diterjemahkan ke dalambahasa Inggris oleh Harry Aveling dan diterbitkan di Singapura dengan judul Sri Sumarah and other stories (1976). Kumpulan cerpen lainnya adalah Parta Krama (1977) yang diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-65 dan Lebaran di Karet, di Karet... (2002) yang diterbitkan setelah Umar Kayam meningggal. Ia juga menulis dua buah novel berjudul Para Priyayi (1992), dan Jalan Menikung Para Priyayi 2 (1999). Para Priyayi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Sebagai sastrawan, tahun 1997 ia memperoleh Hadiah Sstra ASEAN.
            Karya Umar Kayam yang berbentuk buku nonfiksi, antara lain Seni, Tradisi, Masyarakat (1981) dan The Soul of Indonesian, A Culture Journey yang diteritkan oleh Louisiana University Press yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya(1985). Selain menjadu kolumnis di beberapa surat kabar dan majalah, kolom-kolomnya sangat digemari pembaca di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kolom-kolomnya yang secara rutin hadir setiap hari Selasa, akhirnya diterbitkan  secara berseri dengan judul Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda ( 1994), Mandhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih (1998), dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit (2000).
Sebelum wafatnya, Umar Kayam masih sempat menerbitkan hail penelitiannya pada tahun 1993-1995 tentang wayang klit dan dibukukan dengan judul Kelir Tanpa Batas (2001)